Rabu, 31 Maret 2010

seminar hukum pidana Islam

Kontribusi Hukum Pidana Islam dalam Hukum Nasional
Sri Wahyuni, M.Ag., M.Hum.
www.sriwahyuni-suka@blogspot.com

Latar Belakang Kebijakan Pembangunan Hukum di Indonesia
 Tahap unifikasi; industrialisasi, welfare state; bersamaan sekaligus
 Gerakan politik Islam (Islam ideologis/ Islam politik)– pasang surut dalam setiap periode pemerintahan:
- Orde lama (perimbangan ideologi Islam, Nasionalis dan Komunis)
- Orde Baru: penekanan terhadap Islam ideologis; muncul gerakan Islam kultural dan Islam moderat –memperjuangkan Islam subtansial
- Pasca-Reformasi: rezim sisa orba (Partai Golkar), kekuatan baru (PDI), poros tengah (Partai2 Islam); gerakan Islamis muncul kembali baik melalui partai maupun ormas, gerakan mahasiswa
Perjuangan Penerapan Hukum Islam di Indonesia
 Kelompok Islam Legal Formal; pemikiran tradisional dan fundamental; ingin menerapkan syariat Islam secara kaffah; meliputi:
- Partai: PPP, PBB, (PKS – fundamental modernis)
- Ormas: MMI, HTI, FPI
 Kelompok Islam substansial; pemikiran moderat; menerapkan nilai-nilai Islam dalam hukum Nasional; meliputi:
- Partai: PKB, PAN
- Ormas: NU, Muhammadiyah dll
Islamic Law Reform in The Muslim countries
 The first period: in the personal law and family law
 The second period: Islamic Banking and Finance
 Hukum pidana Islam???
- Di Sudan diterapkan; terjadi konflik antara Sudan Utara dan Sudan Selatan
- Indonesia; di Aceh (NAD) dengan otonomi khusus
Hukum Pidana Islam?
 Pemikiran tradisional dan fundamental:
- Fiqh jinayat:
--hudud (pidana yg hukumannya telah ditetapkan dalam nash) diantaranya pencurian: potong tangan; zina: rajam/ jild; qazaf: jild; minum khamr: jild; riddah: hukum mati; hirabah: potong kaki dan tangan
--qishash dan diyat, untuk pembunuhan dan penganiayaan (membunuh jiwa dibalas dengan jiwa, melukai mata dibalas dengan mata, gigi dengan gigi, dll.)
--diyat (pidana yang hukumannya diserahkan kepada Imam; karena tidak disebutkan hukumnya secara tegas dalam nash)
Pola pikir: metode tekstual (istinbath al-hukm al-lafzi)

 Pemikiran moderat:
- Reinterpretasi fiqh jinayat/ pemikiran hukum pidana Islam
- Menggunakan metode konstekstual dalam rangka pembacaan kembali terhadap konsep fiqh jinayah; misalnya pemikiran an-Naim; teori had Syahrur; teori double movement Fazlurrahman dll

Hukum Pidana Nasional
 WvS Indonesia, 1946; dari WvS warisan Belanda
 Diterapkan hingga saat ini
 Telah ada upaya untuk membuat kodifikasi baru – KUHP Indonesia; legislasi belum terwujud
 Upaya memasukkan nilai-nilai hukum pidana Islam dalam konsep KUHP Indonesia?
Contoh: konsep delik perzinahan

Konsep Hukum Islam
Values
Moral prinsiples
Moral norms
Legal norms
Legal rules
 Hukum Islam; tidak memisahkan antara hukum dan moral
 Hukum untuk menegakkan moral; bukan hanya sekedar ketertiban dan keamanan

Aspek Hukum Pidana
 Kriminalisasi: menentukan bentuk dan macam delik
 Pemidanaan: untuk pembalasan/ penjeraan/pendidikan dan pembinaan
 Penegakan hukum
Perjuangan hukum Islam?
 Gerakan Islam kultural
 Gerakan Islam modernis
 Gerakan Islam fundamentalis
Semua ingin menerapkan hukum Islam dan hukum pidana Islam, dengan konsep dan strategi perjuangannya masing-masing

Selasa, 23 Maret 2010

materi kuliah humaniter

Hubungan Deplomatik dan Konsuler
Pengertian
 Implikasi dalam Hubungan antara dua negara
 ICJ menyebutkan kaidah-kaidah hukum diplomatik sebagai “suatu peraturan hukum yang berdiri sendiri, di satu pihak menetapkan kewajiban-kewajiban negara menerima misi sehubungan dengan fasilitas-fasilitas, privilege-privilege dan imunitas-imunitas yang harus diberikan kpd misi-misi diplomatik dan dilain pihak, memperkirakan kemungkinan penyalahgunaan hal tersebut oleh anggota misi serta merinci cara yang disediakan bagi negara penerima untuk menangkal setiap penyalahgunaan demikian”

Dasar hukum
 Sejak Konferensi Wina 1815; telah dibahas tentang misi diplomatik
 Hukum kebiasaan bangsa-bangsa
 Konvensi Wina 18 april 1961 tetang hubungan-hubungan diplomatik (Vienna Convention on Diplomatic Relations)

Klasifikasi utusan diplomatik:
 Duta besar luar biasa (extraordinary): untuk utusan misi temporer, tidak menetap
 Duta Besar (ambassador) atau utusa diplomatik yang diakriditasikan kepada kepala negara
 Duta, Minister yang diakreditasikan kepada Kepala negara
 Kuasa usaha yang diakreditasikan kepada Menteri Luar Negeri
Yang dimaksud dengan “kuasa penuh” (full power): diberi kuasa sepenuhnya untuk menangani urusan transaksi atas nama Kepala negara yang telah mengirimnya untuk misi tersebut

Pengangkatan dan penerimaan utusan diplomatik:
 Dengan upacara sehubungan dengan kedatangan dan keberangkatan
 Pengangkatan seorang utusan biasanya diberitahukan kepada negara tempat ia dikirim, malalui surat resmi, dilengkapi dengan surat kepercayaan (Letters of Credence) atau dokumen kuasa penuh.
 Negara adapat menerima atau menolak utusan
 Dipastikan utusan adalah persona grata
 Kalau utusan persona non grata, harus dipanggil pulang atau tugasnya diakhiri

Hak-hak, privilege dan imunitas:
 Untuk menjamin pelaksanaan tugas dan fungsi diplomatik yang efisien, maka diberikan hak-hak dan privilege-privilege
 Prinsip inviolabilitas gedung-gedung misi diplomatik; negara penerima berkewajiban untuk melindungi gedung-gedung dan dokumen serta arsip-arsip nya, juga untuk melindungi personil misi diplomatik
 Wakil-wakil diplomatik dibebaskan dari segala bentuk bea dan pajak; bebas untuk bergerak melakukan perjalanan di wilayah negara penerima, kecuali jika ada zona keamanan terlarang

Pencegahan dan penghukuman atas kejahatan terhadap utusan:
 Majelis Umum PBB tgl 14 Desember 1973, mengesahkan konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan-kejahatan terhadap Orang-orang yang Dilindungi secara Internasional, Termasuk Wakil-wakil Diplomatik
 Yang termasuk kejahatan ini (Pasal 2):
- membunuh, menculik atau serangan-serangan lain terhadap orang atau kebebasab orang yang dilindungi secara internasional;
-
- Serangan kekerasan terhadap gedung-gedung resmi, akomodasi pribadi atau sarana-sarana transportasi dari seorang yang dilindungi secara internasional yang kemungkinan membahayakan diri pribadi atau kebebasan; dan
- Ancaman-ancaman atau percobaan-percobaan untuk melakukan, atau keikutsertaan dalam melakukan serangan-serangan tersebut
Negara-negara peserta harus mengambil langkah utk menegakkan yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan tersebut; bila terjadi di wilayahnya atau kapal/pesawat benderanya, atau warganegaranya yang melakukannya

Berakhirnya misi diplomatik:
 Penarikan kembali; disampaikan kepada kepala negara atau menteri luar negari; dalam keadaan tertentu, penarikan kembali dapat berarti ada ketegangan antara kedua negara
 Pemberitahuan oleh negara pengirim kepada negara penerima bahwa tugas utusan telah berakhir
 Permintaan dari negara penerima agar utusan ditarik kembali (dalam waktu tertentu)
 Penyerahan paspor-paspor kepada para utusan oleh negara penerima (misal dalam kondisi perang antara kedua negara tersebut)
 Pemberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim bahwa utusan tersebut adalah persona non grata
 Tujuan misi telah terpenuhi/ berakhir
 Berakhirnya masa surat kepercayaan yang diberikan untuk waktu terbetas

Konsul
 Konsul adalah wakil-wakil suatu negara di sebuah negara asing, tetapi bukan wakil diplomatik
 Tugas pokok mereka adalah utk melindungi kepentingan-kepentingan perdagangan negara yang mengangkatnya; serta sejumlah tugas tambahan seperti pelaksanaan akta-akta notaris, memberikan paspor, mengurus perkawinan, melaksanakan yurisdiksi disipliner terhadap awak kapal yang dimiliki oleh negara yang diwakili.

Misi khusus yang tidak tetap:
 Misi khusus hanya dapat dikirim dengan persetujuan negara penerima
 Terlepas ada hubungan diplomatik atau tidak
 Konvensi MU PBB 1969;
- Dua negara atau lebih dapat mengirim sebuah misi khusus pada waktu yang bersamaan ke negara lain dengan maksud untuk bersama-sama mengangani suatu persoalan yang menyangkut kepentingan mereka (Pasal 6)
 Sebelum mengangkat anggota-anggota misi khusus, negara pengirim hrs memberitahukan kpd negara penerima mengenai besarnya misi itu dan tentang nama-nama serta penunjukan anggotanya (Psl 8)
 Tempat kedudukan misi itu harus di tempat yang telah disepakati oleh negara-negara terkait, dalam hal tidak adanya perjanjian, di suatu tempat kementrian luar negeri negara tuan rumah berada dan boleh lebih dari satu tempat kedudukan
 Hanya kebebasan bergerak dan melakukan perjalanan diizinkan apabila itu dianggap perlu untuk melaksanakan fungsi-fungsi dari misi khusus
 Suatu gugatan atas kerugian yang timbul dari kecelakaan yang disebabkan oleh kendaraan yang digunakan di luar tugas-tugas resmi seseorang yang dituntut tidak termasuk lingkup imunitas dari yurisdiksi sipil dan administratif negara tuan rumah
 Imunitas dapat diberikan kpd perwakilan misi dalam transit melalui negara ketiga hanya apabila negara terkait diberitahu sebelumnya tentang transit itu dan tidak menimbulkan keberatan

Jumat, 19 Maret 2010

renungan p.amin

To be religious is to be interreligious:
The significance of Understanding Religious Traditions today
Prof. Dr. M. Amin Abdullah
Edited by Sri Wahyuni

Throughout most of recorded history, humanity has experienced a rich plurality and diversity of religions. From certain theological perspectives, this phenomenon is due to the manifold nature of divine revelation and of its human response in an astonishing variety of different cultures and historical contexts.The contemporary globalizing context of religious pluralism is unlike any of its precursors in that never before have so many different religious communities and individuals existed in such close proximity to—and even interdependence on—one another. The very existence of the fairly recent inter-religious movement is an indication that today the world’s religions are interacting on an unprecedented scale. The increasing curiosity about other religions—sometimes positive, sometimes negative—as the phenomenon of reading each other’s scripture and reading about each other’s religions seems to grow more popular.
Those of us who engage in inter-religious inquiry are variously inspired and perplexed by what we surmise as each other’s insights and practices. Optimally speaking, we find that our various traditions share some of the same fundamental values that each of us cherish in our own religions, albeit expressed in different ways. We also realize that we are being challenged to articulate our own religious identities in an increasingly religiously plural setting where others are, in many ways, listening and asking questions of us as we do so. What this means is that whether we like it or not to be religious today is to be inter-religious.

"He who knows one religion knows none.” Friedrich Max Muller famous dictum above, perhaps largely referring in his own scholarly context to those who aspired to become experts in the study of a particular religious tradition. Yet today, this dictum seems to have significance well beyond the membership of the American Academy of Religion and similar scholarly societies.

In today’s increasingly religiously plural social contexts, these words suggest not only that a failure to engage pluralism, including in this case to engage multiculturalism, is an act of self-marginalization within our own social contexts. They also suggest that, without some understanding of the faith and culture of our neighbor, the religious person (or community) living in a religiously and culturaly plural society cannot even understand oneself (or itself).

Theological explanations of this plurality vary from tradition to tradition, as well as within a single tradition. In the Abrahamic faiths such explanations tend to fall into two distinct, but not always mutually exclusive, categories. There are those explanations that attribute religious plurality either to ignorance of the truth, or perversity in the face of truth. And there are other explanations which suggest that religious plurality is somehow a part of the divine design to bring humanity together as one family before God. Suffice to say that it is this second category of explanations that one most often finds at the theological heart of most efforts at interreligious dialogue.
In Islam, the Qur’an is the single most important source of inspiration for interreligious dialogue. It may be that the Qur'an is unique among the Abrahamic scriptures—and perhaps other scriptural texts as well—in the explicit manner in which it refers not only to dialogue between adherents of different faith-communities, but also to the divine ordainment of religious diversity, and, in consequence, to the spiritual validity of these diverse religious paths. Quranic discourse presents these paths as so many outwardly divergent facets of a single, universal revelation by the unique and indivisible Absolute.

Islam on Plurality Cont; There are at least two quranic verses which are frequently interpreted as the basis for an Islamic theology of religious pluralism which recognizes the degree to which such pluralism can be seen in a positive light. The first (Sūrat al-Mā’ida, verse 48—5:48) speaks of human communal, and perhaps therefore cultural and religious plurality, to be part of the divine design. The reason it offers for this plurality is so that different groups of human beings will “compete with each other in virtue.” The second (Sūrat al-Hujurāt, verse 13—49:13) has a very similar theme. It suggests that God has “appointed” cultural and perhaps even religious diversity for the human race in order that human beings may be faced with the challenge of coming “to know each other” and striving with one another to be the “most honored in God’s sight” by being the most God-conscious (atqâ):
Judaism on Pluralism; Rabbi Jonathan Sacks asserts that part of the creative genius of Rabbinic Judaism was that it pioneered not one, but two ideals of peace. The first is the ultimate “messianic” peace in which all divisions among humankind will be dissolved and all tensions resolved. Perhaps the most well-known biblical text expressing this messianic ideal is Isaiah 11:6-9, beginning with the famous words, “The wolf shall live with the lamb, the leopard shall lie down with the kid, the calf and the lion and the fatling together, and a little child shall lead them.” As beautiful as this vision may seem, for Sacks the genius of the biblical tradition lies not so much in developing the ideal of the messianic peace, as it does in developing the idea of darkhei shalom or “the ways of peace” and eviah or “[the avoidance of] ill-feeling” as an “ideal of peace in an unredeemed world.” For Sacks, the genius of Jewish teachings regarding peace is that it complements the messianic ideal with a practical ideal of a “here-and-now peace which depends on different groups with incompatible ideals living graciously or at least civilly together without attempting to impose its beliefs of others.”
Christianity on Pluralism; From a Christian perspective, there have been many biblical passages attested in support of interreligious dialogue and peaceful coexistence (Gen. 1:27; Isaiah 56:1-7; Mark 9:40; Luke 9:50). In the meeting of religious leaders from all over the world which took place in Assisi in October of 1986, the late Pope John Paul II summarized a basic insight common to many Christian theologies of religious pluralism and dialogue when he said, addressing the assembly: “Religions are many and varied and they reflect the desire of men and women throughout the ages to enter into relationship with the Absolute Being.” In this address, John Paul echoed the teaching of the Second Vatican Council and its document Nostra Aetate that “the Catholic Church rejects nothing that is true and holy” in the other religions of the world.
Non Abrahamic Religion on Pluralism; If we leave the realm of specifically Abrahamic discourse on religious pluralism and interreligious dialogue, we encounter those who—in ways which are more consonant with the epistemologies of certain forms of Hinduism and Buddhism than they are with traditional Abrahamic epistemologies—articulate a thesis of radical complementarity based on a perception of the contextual limitations and specific of every human tradition.

V. F. Vineeth argues that religions are life expressions of the experience of revelation in a given historical context. They are, therefore, limited by factors of history, culture, language, etc. If we are ever to transcend these limitations, each of us in our own limited traditions must aspire precisely to encounter other religious or cultural traditions. According to this view, no religious expression is complete and thorough. Thus, “one way to advance in the experience of the fullness [of truth] is to become more and more enriched by the contributions of complementary expressions.” With the encounter of a new religion, a concealed jewel of truth is now awakened, and a new potential comes to blossom. For example, Thomas Merton had a new interpretation of Christian religious experience after his encounter with Buddhism.

Thus, the understanding of religions is vital because of the massive power that religions have wielded, something that no one can deny. We can ask to ourselves whether one can understand any culture and history—political or social—without understanding the relevant religions. Therefore we need a language of pluralism. We need a discourse that allows people to talk in different language. We need a more critical discourse that is respectful and attentive and sensitive to differences. Whether one is religious or not, the study or understanding of religions is a key to understanding other cultures; religions have been powerful forces throughout history in any country, some times working for good and sometimes working to destroy. They have inspired some of the greatest and noblest of acts; equally they have inspired some of the most ruthless brutality. They are central to much social and political history.

Racial and religious prejudices are major issues in the contemporary world. One major motive in understanding or study of religions is to encourage knowledge and understanding between religions and cultures, based on assumption that prejudice will be overcome if each knows more about the other. It is hoped that the knowledge of others will result in understanding, and there by better relations between peoples. Above all the study or understanding of other religion is to enable us to ‘see through the spectacles’ of another culture. If some one can develop an empathetic understanding of one other culture, the result will be that they are more ready to empathize with other cultures as well.

tajuk

UIN Wacanakan Difabel sebagai Fiqh Baru tentang Musta’afin

UIN Sunan Kalijaga sebagai institusi yang bergerak di bidang higher education, semagaimana Perguruan Tinggi lainnya di dunia; mulai mencoba untuk memperhatikan isu tentang difabel. Jika di dunia Perguruan Tinggi di Barat telah memulai sejak dahulu bahkan saat ini fasilitas untuk para difabel telah begitu majunya; maka di Indonsia isu tersebut relative teryinggal. Difabel seakan hanya menjadi urusan Departemen Sosial.
UIN Sunan Kalijaga telah menyambut baik isu dan program untuk lebih memperhatikan difabel ini. Mereka sama-sama manusia yang juga mempunyai hak untuk menikmati pendidikan di perguruan tinggi. Sehingga, Perguruan Tinggi juga harus mempersiapkan berbagai fasilitas khusus untuk memberi kemudahan kepada kaum difabel ini.
Memang dalam beberapa tahun terakhir ini, UIN Sunan Kalijaga telah menerima calon mahasiswa dari kalangan difabel. Maka, konsekuensinya UIN harus menyediakan fasilitas dan kemudahan bagi mereka untuk memperlancar studinya; mulai dari system pembelajaran hingga perangkat keras seperti computer yang dilengkapi dengan software suara untuk bisa membaca huruf dan tulisan. Dengan demikian, mereka tidak selalu tergantung kepada orang lain yang normal. Buku digital juga harus dipersiapkan bagi mereka.
UIN Sunan Kalijaga sebagai perguruan tinggi Islam, harusnya memang tidak asing dengan advokasi terhadap difabel ini. Dalam fiqh –hokum Islam—sendiri terdapat konsep tentang mustad’afin (kaum yang lemah). Selama ini, mustad’afin cenderung dipahami sebagai orang fakir miskin dan delapan kelompok penerima zakat saja. sementara itu, kaum difabel, juga merupakan bagian dari kaum lemah yang perlu diperhatikan—bukan bertendensi untuk merendahkan difabel; tetapi perlu perhatian khusus dari institusi-institusi untuk mereka, sehingga tidak terjadi diskriminasi bagi kaum difabel ini. Dari sinilah, UIN perlu menyuarakan fiqh baru, tentang difabel sebagai bagian dari mustad’afin ini. Sehingga, akan terjadi pergeseran pemahaman menuju gerakan yang massif untuk memperhatikan dan memperjuangkan kaum difabel ini.
Di UIN Sunan kalijaga, difabel memang telah mendapat perhatian –bukan hanya sekedar wacana dan isu. Lembaga yang menangani difabel ini telah ada sejak beberapa tahun lalu. Bahkan, beberapa relawan untuk membantu para difabel ini juga banyak dari kalangan mahasiswa, tanpa mengharap bayaran. Begitu juga, seorang doctor konsultas difabel, dating dari Canada, juga dengan sukarela membantu lembaga ini, untuk meningkatkan pelayanan dna fasilitas bagi kaum difabel ini. Walaupun demikian, apa yang diberikan UIN untuk kaum difabel ini dapat dianggap belum seberapa dibaanding dengan perlakuan terhadap difabel di Negara-negara lain, terutama di Barat. Sehingga, UIN akan selalu meningkatkan mutu pelayanan dan falititas bagi kaum difabel ini, sebagai ajaran Islam untuk menyantuni kaum mustad’afin….

Kamis, 18 Maret 2010

materi kuliah hukum antar golongan- humaniter

HUKUM HUMANITER
Humanitarian Law of War
Humanitarian warfare
Peristilahan
• Istilah HUkum HUmaniter, relatif baru; th 1970-an; dengan adanya Conference of Government Expert on The Reaffirmation and Development in Armed Conflict th 1971.
• Th 1974,1975,1976, 1977 diadakan Diplomatic Conference on the Reaffirmation and Development of International Humanitarian Law Aplicable in Armed Conflict

Definisi
• Menurut Geza Herzegh: “Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict”
• Muchtar Kusuma Atmaja: bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang; berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu tentang cara melakukan perang itu sendiri.

• Esbjorn Rosenbland, merumuskan hukum humaniter dengan membedakan antara:
- The law ofarmed conflict: berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya perang, pendudukan wilayah lawan, hubungan pihak bertikai dengan negara netral
- Law of welfare; mencakup metode dan sarana berperang, status combatan, perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil
Hukum Humaniter Internasional
• Kaidah hukum tentang perang yang berkemanusiaan
• Tujuan: bukan sebagai kitab hukum yang mengatur permainan perang; melainkan untuk alasan kemanusiaan agar dapat mengurangi dan membatasi penderitaan individu-individu (kombatan dan sipil), serta kawasan tempat konflik bersenjata diizinkan; melindungi hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh di tangan musuh; menghalangi perang yang dilakukan dengan sangat kejam yang tdk berperikemanusiaan


• Ada yang membagi menjadi dua aturan pokok:
- Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (hukum Den Haag/ The Hague Laws)
- Hukum yang mengatur tentang perlindungan terhadap combatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Henewa/ The Genewa Laws)
Asas-asas Hukum Humaniter:
• Asas kepentingan militer (military necessity): dibenarkan untuk menundukkan lawan dengan kekerasan demi berhasilnya tujuan perang
• Asas perikemanusiaan (humanity): pihak yang bersengketa harus memperhatikan perikemanusiaan, dilarang untuk menggunakan kekerasan yang mengakibatkan luka yang berlebihan (unnecessary suffering)
• Asas kesatriaan (chivalry): di dalam perang, hrs ada kejujuran; tipu muslihat dab alat yang tidak terhormat dianggap penghianatan perang
Sumber hukum:

• Konvensi the Huge th 1907
• Pembentukan LBB
• Pembentukan Kellog-Briand pact atau paris Pact th 1928
• Charter PBB tahun 1945
• Konferensi Jenewa th 1974 – 1977: protokol I dan protokol II th 1977; yang menambah dan memperbaharuhi Konvensi Palang Merah Jenewa th 1949; konferensi Diplomatik ttg penegasan dan pengembangan hukum humaniter internasional yang berlaku dalam konflik-konflik bersenjata
• Statuta Roma th 1998 tentang kejahatan international

• Convenant Liga Bangsa-bangsa; menekankan kpd pembatasan hak negara-negara anggota untuk mngambil jalan perang dalam penyelesaian sengketa
• Paris General Treaty for the Renunciation of war: negara-negara peserta agar menghindari pengambilan jalan perang sebagai jalan keluar dari pertikaian2 internasional

• Charter PBB 1945: penekanan pada perang dihapuskan; sbg penggantinya, muncul konsepsi tentang ancaman-ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian, tindakan-tindakan agresi
• Pasal 2: negara anggota sepakat untuk menyelesaikan sengeta denganjalan damai agar tdk membahayakan perdamaian dan keamanan; menahan diri dari sikap dan penggunaan kekerasan yang mengancam kemerdekaan politik suatu negara

• Dalam hal pengambilan jalan perang atau permusuhan; Dewan Keamanan yang mengawasi tindakan-tindakan agresi
• Perang agresi atau pelanggaran-pelanggaran traktat adalah tindakan ilegal
• Tindakan2 perencanaan, persiapan, prakarsa atau penyulutan perang agresi adalah kejahatan internasional yang melibatkan individu-individu yang menggerakkan itu
Pengertian agresi:
• Tindakan agresi adalah penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu negara terhadap kedaulatan, integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara lain, atau dengan cara lain yang tidak selaras dengan Charter (Pasal 2)
Tindakan agresi:
• Agresi langsung, melakukan prakarsa atau penggunaan kekuatan langsung (misalnya pernyataan perang, invasi, pemboman dan blokade)
• Agresi tidak langsung; diperlihatkan dengan penggunaan kekerasan secara tdk langsung (misalnya mengirim tentara bayaran atau pelaku sabotase ke negara lain, mendukung aktivitas subversi di nagara lain)

Prajurit dan non-prajurit
• Prajurit (combatants) dibagi menjadi dua golongan: prajurit yang sah (lawful) dan prajurit yang tidak sah (unlawful)
• Prajurit yang sah boleh dibunuh, dilukai dna ditangkap dalam peperangan
• Prajurit tidak sah misalnya mata-mata; tunduk pada penangkapan dan penahanan, dan tambahannya diadili dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan militer atas tindakannya
• Warga negara non prajurit, tidak bileh diserang dan dilukai
(Konvensi the Huge th 1907; Konvensi Palang Merah Jenewa th 1949)
Peran PBB
• PBB telah mengupayakan perdamaian dunia; pacsa-perang dunia II
• Sistem keamanan dunia gagal, dengan perang dingin; terbentuk organisasi pertahanan Barat (NATO) th 1949 dan Timur (Pacta Warsawa) th 1955

Peran Dewan Keamanan PBB
• Dewan Keamanan PBB akan mengambil tindakan jika terdapat peanggaran atau ancaman terhadap perdamaian atau suatu tindakan agresi
• Tindakan Dewan Keamanan PBB:
- menetapkan apakah benar ada tindakan ancaman ataupun agresi;
- membuat rekomendasi untuk keperluan perdamaian;
- dapat juga melakukan investigasi;

- menetapkan tindakan sementara yang dianggap perlu untuk mencegah memburuknya keadaan;
- Memutuskan tindakan-tindakan yang tidak melibatkan kekuatan bersenjata seperti pemutusan hubungan ekonomi, laut, udara, alat komunikasi ataupun pemutusan hubungan deplomatik (sanksi non-militer)
- Dapat menggunakan pasukan darat, laut dan udara yang dianggap perlu untuk memelihara perdamaian dunia

Peran United Nation Emergency Force:
• United nations Truce Supervition Organization, yang didirikan th 1948 di Timur Tengah. Tugas: mengawasi peletakan senjata di palistina, peletakan senjata di Terusan Suez, dataran tinggi Golan setelah Perang Arab-Israel Juni 1976
• United Nations Military Observer Group in India and Pakistan, th 1949
• United Nations Peacekeeping Force in Cyprus th 1964


4. United Nations Disengangement Observer Force th 1974 di dataran tinggi Golan, Syiria
5. United Nations Interim Force in Libanon, 1978
6. United Nations Iraq-Kuwait Observation Mission, th 1991
7. United Nations Mission for the Referendum in Western Sahara, th 1991
8. United Nations Observers Mission in Gorgia, th 1993

9. United Nations Mission of Observers in Tajikistan, th 1994
10. United Nations Mission in Bosnia and Herzegovina th 1995
11. United Nations Mission of Observers in Prevlaka th 1996 di Croatia
12. United Nations Civilian Police Mission in Haiti th 1997

13. United Nations Mission in Central African Republic, 1998
14. United Nations Observers Mission in Sierra Leone th 1998
15. United Nations Assistance Mission in East Timor, 1999
16. United Nations Interim Administration Mission in Kosovo, th 1999
17. United Nations Organization Mission in the Democratic Republic of the Congo, th 2000

Jumat, 05 Maret 2010

materi kuliah hukum antar golongan

Hukum Antar Tata Hukum (HATAH)
Sebuah Pengantar

Sri Wahyuni, M.Ag., M.Hum.

HATAH dibagi menjadi:
 HATAH Intern: keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum manakah yang berlaku, dalam hubungan hukum antara warga negara dalam satu negara, memperlihatkan titik pertalian dengan kaidah hukum yang berbeda, baik lingkungan kuasa waktu, ruang, pribadi maupun soal
 HATAH Ekstern: keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjuk hukum manakah yang berlaku, dalam hubungan hukum antara warga negara pada satu waktu yang menunjukkan titik-titik pertalian dari dua negara atau lebih (Hukum Perdata Internasional)

Landasan Teori HATAH:
 Dikembangkan oleh Logemann tentang gebieden yaitu lingkungan kekuasaan hukum
 Hans Kelsen; tiap norma hukum memiliki 4 lingkungan kekuasaan:
- Lingkungan kekuasaan waktu (the sphere of time/ temporal sphere)---Hukum Antara Waktu
- Lingkungan kekuasaan ruang/tempat (territorial sphere) --- Hukum Antara Tempat
- Lingkungan kekuasaan pribadi (personal sphere) --- Hukum Antar Golongan
- Lingkungan kekuasaan soal (material sphere)

Hukum Antar Waktu (HAW)
 Adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum manakah yang berlaku, dalam hubungan hukum antara warga negara dalam satu negara, memperlihatkan titik pertalian dengan kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa waktu dan soal
 Contoh: tahun 1964 ada UU lalu lintas devisa; penduduk Indonesia dilarang mempunyai alat-alat pembayaran luar negeri tanpa izin. Sekarang tidak berlaku lagi, dengan adanya UU devisa baru thun 1976

Hukum Antar Tempat (HAT):
 Adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum manakah yang berlaku, dalam hubungan hukum antara warga negara dalam satu negara, memperlihatkan titik pertalian dengan kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa ruang dan soal
 Misalnya: seorang laki-laki dari Palembang menikah dengan perempuan Sunda; ada adat yang berbeda

Hukum Antar Golongan (HAG)
 Adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum manakah yang berlaku, dalam hubungan hukum antara warga negara dalam satu negara, memperlihatkan titik pertalian dengan kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa pribadi dan soal
 Misalnya; dalam masa Hindia Belanda; terdapat golongan penduduk Indonesia; ada perbedaan golongan penduduk dengan peraturan hukum yang berbeda

Penggolongan Penduduk Masa Hindia Belanda:
 Berdasarkan pasal 163 IS bahwa penduduk hindia belanda, dibagi menjadi:
 Golongan Eropha, yaitu orang-orang belanda dan eropha yang buka belanda --- bagi mereka berlaku BW
 Golongan Timur Asing, yang dibagi menjadi golongan Tionghoa yaitu Cina --- --- berlaku bagi mereka BW kecuali dalam masalah perkawinan dan adopsi; dan non Tionghoa seperti Arab, Pakistan dll. --- berlaku bagi mereka BW kecuali dalam masalah perkawinan dan kewarisan
 Golongan pribumi yaitu penduduk hindia belanda (Indonesia) asli, berlaku bagi mereka hukum adat.
 Hukum Antar Agama (HAA) termasuk dalam Hukum Antar Golongan
 Mislanya GHR (Gemende Huwelijken Regeling/ Regeling op de Gemende Huwelijken)--- peraturan perkawinan beda agama

HATAH Ekstern/ HPI;
Permasalahan pokoknya:
1. Hakim atau badan peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan persoalan-persoalan yang mengandung unsur asing
2. Hukum manakah yang diberlakukan untuk mengatur dan atau menyelesaikan persoalan-persoalan yuridis yang mengandung unsur-unsur asing
3. Bilamana atau sejauhmana suatu pengadilan harus memperhatikan dan mengakui putusan-putusan Hakim asing dan atau mengakui hak-hak atau kewajiban-kewajiban hukum yang terbit berdasarkan hukum atau putusan hukum asing

Pembahasan:
 Titik taut dalam HPI
 Kualifikasi pokok perkara HPI
 Kualifikasi titik-titik taut
 Kualifikasi masalah substansial dan proseduran
 Penunjukan kembali
 Ketertiban umum

Titik Taut HPI
 Titik taut: connecting factors; points of contact; aanknopingsputen
 Titik taut: Hal-hal atau keadaan yang menyebabkan berlakunya suatu stelsel hukum
 Dibagi menjadi:
- Titik taut primer: Faktor-faktor atau keadaan-keadaan atau sekumpulan fakta yang melahirkan atau menciptakan hubungan Hukum Perdata Internasional
- Titik taut sekunder:Faktor-faktor atau sekumpulan fakta yang menentukan hukum mana yang harus digunakan atau berlaku dalam suatu hubungan Hukum Perdata Internasional (titik taut penentu)

Faktor-faktor yang termasuk dalam Titik
Pertalian Primer
1. Kewarganegaraan
2. Bendera kapal dan pesawat udara
3. Domisili (domicile)
4. Tempat kediaman (residence)
5. Tempat kedudukan badan hukum (legal seat)
6. Pilihan hukum dalam hubungan intern

Titik Pertalian Sekunder
 Tempat terletaknya benda (lex situs, lex rei sitae);
 Tempat dilaksanakannya perbuatan hukum (lex loci actus)
 Tempat terjadi perbuatan melawan hukum (lex loci delicti commisi)
 Tempat dilaksanakannya pernikahan (lex loci celebrationis)
 Tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus)
 Tempat dilaksanakannya kontrak (lex loci solutionis)
 Pilihan Hukum
 Kewarganegaraan (lex patriae)
 Bendera kapal atau pesawat udara
 Domisili (lex domicilii)
 Tempat kediaman
 Kebangsaan atau kedudukan badan hukum
 Hukum negara tempat diadilinya perkara (lex fori)

Tahapan-tahapan penyelesaian perkara HPI
1. Pertama harus ditentukan dulu titik-titik taut primer karena disini sangat menentukan apakah itu merupakan persoalan HPI atau bukan. Disini akan dicari unsur-unsur dalam sekumpulan fakta yang dihadapi.
2. Melakukan kualifikasi fakta berdasarkan lex fori untuk menetapkan kategori yuridis perkara yang dihadapi.
3. Penentuan kaidah HPI mana dari lex fori yang harus digunakan untuk menentukan lex causae. Pada tahap ini sebenarnya orang menentukan titik taut sekunder yang paling menentukan.
4. Jika kaidah hukum internal sudah dapat ditentukan, maka barulah perkara dapat diputuskan

Contoh Kasus:
 Seorang warga negara Jerman, yang sehari-hari berdomisili di London, Inggris; dan akhirnya meninggal di Perancis, dan meninggalkan warisan di Italia, Inggris, dan Jerman. Sebelum meninggal ia telah membuat sebuah testamen di buat di Perancis. Ketika para ahli waris bersengketa menganai pembagian waris ini, maka mereka sepakat untuk mengajukan perkara ke Pengadilan Jerman
 (Kasus Anton v. Bartolo): Sepasang suami isteri warga negara Inggris, berdomisili di Malta (jajahan Inggris), dan melangsungkan perkawinan di Malta. Setelah menikah, mereka tinggal di Perancis dan memperoleh kewarganegaraan Perancis, suami membeli sebidang tanah produktif di Perancis. Setelah suami meninggal, istri menuntut ¼ bagian dari hasil tanah tersebut. Perkara diajukan di Perancis.

 Kalau termasuk hukum waris tanah: lex rei sitae/ lex situs: tempat benda berada
 Kalau tuntutan janda terhadap harta perkawinan: lex loci celebrationis: hukum tenpat perkawinan

Kualifikasi hukum:
 Berdasarkan lex fori: kasus di atas; kualifikasi dengan hukum Perancis: masuk dalam hukum waris tanah, janda tidak mendapat hak waris
 Kualifikasi berdasarkan hukum Inggris: termasuk hukum harta perkawinan; janda punya hak atas harta perkawinan
 Putusan hakim: berdasar hukum Inggris: harta perkawinan; menuai kritik “mengapa tidak menggunakan lex fori?”

 (Kasus Nicols v. Curlier): Sepasang suami istri berkewarga negaraan Perancis, resmi menikah di Perancis, tidak membuat kontrak tentang harta perkawinan. Setelah menikah, pindah ke Inggris, suami meninggal di Inggris dengan meninggalkan testamen sah di Inggris. Isi testamen ternyata mengabaikan hak istri atas harta perkawinan. Kemudian, istri mengajukan gugatan terhadap testamen dan menuntut harta bersama. Gugatan diajukan di Pengadilan Inggris

Kualifikasi hukum Lex Causi:
 Kualifikasi hukum berdasarkan lex fori: berdasarkan hukum Inggris, termasuk hukum warisan testamen atau hukum harta perkawinan; tetapi tidak ada kontrak perkawinan tentang harta bersama, pdhl dalam hukum Inggris, kepemilikan harta masing-masing harus didasarkan kontrak; jika tidak ada, maka harus diselesaikan menurut lex loci celebrationis (hukum tempat perkawinan)
 Maka kualifikasi hukum menurut lex causi: hukum perancis; jika tidak ada kontrak, berarti menjadi harta bersama
 Putusan hakim: membatalkan testamen, suami separuh harta, janda separuh

Ketertiban Umum (Public Order)
 Prinsip: jika pemberlakuan hukum asing dapat menimbulkan akibat-akibat berupa pelanggaran terhadap sendi-sendi pokok hukum setempat (lex fori), maka hukum asing dapat dikesampingkan atas dasar “demi kepentingan umum” atau “demi ketertiban umum”
 Semua hukum setempau yang dibuat untuk melindungi kesejahteraan umum, harus didahulikan dari ketentuan hukum asing yang dianggap bertentangan dengan kaidah hukum setempat tersebut
Contoh kasus:
 Pengadilan Inggris menolak pelaksanaan suatu kontrak pinjam meminjam uang yang dimaksudkan untukmendukung upaya pemberontakan terhadap pemerintah yang sah
 Suatu kontrak pembelian kapal laut diaantara beberapa pihak di Inggris, yang akan digunakan untuk mengangkut minuman keras dari Inggris ke Amerika Serikat th 1929. Di Amerika saat itu, Pemerintah Federal melarang segala pereedaran minuman keras. Pelaksanaan kontrak itu akan merusak hubungan Inggris- Amerika; maka hakim Inggris membatalkan kontrak tersebut

Penyelundupan Hukum (Evation of Law)
 Suatu perbuatan yang dilakukan di suatu negara asing yang diakui sah di negara asing itu, dapat dibatalkan oleh lex Fori karena tidak sesuai dengan lex fori atau dilartang di lex fori; bila perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghidarkan diri dari aturan-aturan lex fori yang akan melarang perbuatan semacam itu di laksanakan di wilayah forum

Senin, 01 Maret 2010

materi kuliah hukum perdata

Hukum Benda
Dan Hak-hak Kebendaan
Buku II BW

Hukum Benda
 Zekenrecht/ van zaken – buku II BW
 Termasuk dalam hukum harta kekayaan; yaitu kaidah hukum yang mengatur hak-hak apakah yang didapatkan oleh seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, baik tertentu atau tidak, yang mempunyai nilai uang (Soedirman Kartohadiprojo); peraturan hubungan hukum yang bernilai uang (Van Apeldoorn)

Pengertian Benda:
 Benda/ zaak: tiap-tiap barang atau hak yang dapat dikuasai oleh hak milik (Psl 499 KUHPerd); segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum dan barang-barang yang menjadi milik serta hak setiap orang yang dilindungi oleh hukum
 Zaak dalam KUHPerd: barang yang berwujud dan tak berwujud (misalnya hak); bagian dari harta kekayaan

Macam-macam Benda:

Menurut BW:
 Berwujud dan tak berwujud
 Bergerak (misalnya kendaraan, perabot rumah), sifatnya dapat dipindahkan, dibagi menjadi benda yang dapat dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan; dan tak bergerak (misalnya tanah, bangunan)

Menurut Soebekti:
 Benda yang dapat diganti (Ex. uang); benda yang tidak dapat diganti (Ex. binatang ternak)
 Benda yang dapat diperdagangkan; benda yang tidak dapat diperdagangkan (Ex. Jalan, lapangan)
 Benda yang tidak dapat dibagi; benda yang tidak dapat dibagi
 Benda bergerak; benda tidak bergerak

Pengertian Hukum Benda
Semua kaidah hukum yang mengatur tentang apa yang diartikan dengan benda dan mengatur hak-hak atas benda

Hak Kebendaan
 Pengertian: hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang.
 Ciri-ciri hak kebendaan: memberikan kekuasaan langsung atas benda; dapat dipertahankan terhadap setiap orang; selalu melekat pada benda

Pembagian hak-hak kebendaan
 Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan:
- Atas bendanya sendiri: hak eigendom, hak bezit
- Atas benda orang lain: hak opstal, erfpack, memungut hasil, hak pakai
 Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan: hak gadai dan hipotik

Hak Bezit
 Bezit: kedudukan berkuasa; yang menguasai suatu benda, baik dengan sendirinya atau melalui perantaraan orang lain, dan mempertahankan dan menikmatinya seperti hak milik (Psl 529 KUHPdt)
 Dibagi menjadi bezit jujur (didapatkan dengan sah misalnya jual beli, warisan;Psl 531) dan bezit tidak jujur (didapat dari pencurian;Psl 532)
 Bezit mendapatkan perlindungan hukum, hingga terbukti bahwa ia tidak berhak
 Dengan daluarsa, bezit dapat menjadi hak milik, jika tidak ada protes dari hak milik sebelumnya
 Cara memperoleh bezit:
- Dengan jalan occupatio: pengambilan benda, tanpa bantuan orang lain
- Dengan jalan traditio: pengoperan, dengan bantuan orang lain

Hapusnya bezit:
 Kekuasaan atas benda itu berpindah kepada orang lain
 Benda yang dikuasai telah ditinggalkan dan atau musnah

Hak Eigendom/ hak milik
 Eigendom: hak untuk menikmati kegunaan kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap benda itu dengan kedaulatan penuh, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, dan tidak mengganggu hak orang lain; kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungknan akan dicabutnya hak itu demi kepentingan umum berdasarkan undang-undang, dengan pembayaran ganti rugi.
 Eigendom: Hak yang paling sempurna atas suatu benda
 Pemilik eigendom dapat berbuat apa saja terhadap benda tersebut (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan merusak

Cara memperoleh hak milik:
 Pewarisan
 Penyerahan
 Lewat waktu (daluarsa) --- acquisitieve (memperoleh hak); dengan syarat:
- Harus ada bezit (jujur)
- Membezitnya harus terus-menerus, tidak terganggu, diketahui oleh umum, berturut-turut selama 20 tahun atau 30 tahun

Hapusnya hak milik:
 Orang lain memperoleh hak milik itu dengan cara yang sah (peralihan hak milik yang sah)
 Benda itu musnah
 Pemilik melepaskan benda itu

Hak Opstal
 Hak opstal/ hak numpang karang: hak kebendaan untuk mempunyai bangunan, gedung dan penanaman di ataspekarangan orang lain (Psl 712)
 Musnah karena:
- Jatuh ke tangan orang lain
- Pekarangan musnah
- Selama 30 tahun tidak dipergunakan
- Waktu yang diperjanjikan telah lampau
- Diakhiri oleh pemilik tanah

Hak Erfpacht
 Yaitu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan benda tidak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik, baik berupa uang atau hasil atau pendapatan (Psl 720)
 Berakhirnya:
- Hak erfpack jatuh ke tangan orang lain
- Musnaknya pekarangan
- Selama 30 tahun tidak dipergunakan
- Waktu yang diperjanjikan telah lampau
- Diakhiri oleh pemilik tanah

Hak Pakai Hasil
 Yaitu hak kebendaan untuk mengambil hasil benda milik orang lain, dengan kewajiban memeliharanya sebaik-baiknya (Psl 756)
 Hapusnya:
- Meninggalnya pemiliki hak
- Tenggang waktu yang telah diberikan telah lewat waktu
- Percampuran (jika hak milik dan hak pakai hasil berada di tangan satu orang)
- Pelepasan hak oleh penyandang hak pakai hasil, kepada pemilik
- 30 tahun tidak dipakai, daluarsa
- Musnahnya benda itu

Hak Gadai
 Yaitu hak kebendaan yang diperoleh seseorang yang berpiutang atas suatu benda bergerak, dan memberikan kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut (Psl 1150)
 Hak si pemegang hak gadai:
- Untuk menggadaikannya lagi (Psl 1155)
- Jika pemberi gadai melakukan wanprestasi (ingkar), si pemegang gadai berhak menjual barang tersebut (Psl 1156)
- Si pemegang hak gadai berhak mendapatkan ganti rugi atas biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkan barang tersebut (Psl 1157)
- Pemegang gadai berhak untuk menahan barang yang digadaikan tersebut, hingga waktu utang dilunasi (Psl 1159)


Kewajiban Pemegang Gadai:
 Pemegang gadai berkewajiban untuk memberitahukan kepada si berutang, bila barang gadai akan dijual (Psl 1156)
 Pemegang gadai bertanggungjawab jika barang rusak atau hilang karena kelalaiannya (Psl 1157)
 Pemegang gadai harus memberikan hasil penjualan barang, setelah mengambil pelunasannya, dan menyerahkan kelebihannya pada si berhutang (Psl 1158)
 Si pemegang gadai harus mengembalikan barang gadai, jika utang telah lunas (Psl 1159)

Hapusnya Hak Gadai:
 Seluruh utang sudah terbayar
 Barang gadai musnah
 Barang gadai keluar dari kekuasaan si penerima gadai
 Barang gadai dilepaskan dengan sukarela

Hak Hipotik
 Adalah: hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan (Psl 1162)
 Hapusnya hipotik:
- Hapusnya perikatan pokoknya
- Si berpiutang melepaskan hipotinya

materi kuliah hukum perdata

Hukum tentang Orang/
buku I BW
- Personenrecht
- Hukum purusa (Van Apel Dorn)
- Hukum badan pribadi
- Hukum tentang orang

Hukum tentang Orang
Pengertiannya yaitu hukum yang mengatur tentang orang sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban, dan mengatur tentang syarat-syarat kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum.
Kecakapan dibagi 2:
Kecakapan untuk menerima hak bagi manusia sebagai subyek hukum (ahliyatul wujub):
----- sejak ia lahir atau bahwa dalam kandungan, seperti hak waris bagi janin dalam kandungan sebagaimaa Pasal 2 BW
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum bagi manusia sebagai subyek hukum (ahliyatul ada’)
----- mensyaratkan kedewasaan; tidak berada dalam pengampuan, dan (dahulu perempuan dalam perkawinan dianggap tdk cakap hukum)

Kedewasaan
Dalam BW ---- 21 tahun atau belum 21 tahun tetapi sudah menikah
Dalam hukum perkawinan --- batas usia perkawinan: laki-laki 19 th, perempuan 16 th; untuk usia dibawah 21 th, disyaratkan dengan izin dari orang tua
Dalam hk waris --- sebelum usia 18 th belum bisa membuat surat wasiat
UU pemilu ---batas usia pemilih 17 th

Pendewasaan; ada 2:
Pendewasaan terbatas --- untuk melakukan perbuatan hukum tertentu; sudah usia 18 th; ke Pengadilan Negeri
Pendewasaan penuh --- untuk melakukan segala perbuatan hukum; sudah usia 20 th; ke Presiden/ Dept. Hukum dan HAM
--- pendewasaan dapat dicabut, apabila disalahgunakan
--- saat ini tidak berarti, kerena UU Perkawinan (batas usia perkawinan)

Pengampuan / curatele:
Pengertian: upaya hukum untuk menempatkan orang yang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum dewasa
Orang yang di bawah pengampuan: curandus; pengampu: curator; pengampuan: curatele
Pasal 433 KUHPerd: orang yang berada dalam pengampuan:sakit ingatan, boros, dungu, mata gelap; kalau anak kecil – wali (pasal 462)

Pengajuan Pengampuan:
Dengan keputusan hakim atas permohonan pengampuan
Diajukan oleh:
- Keluarga sedarah –untuk (psl 434 (1))
- Keluarga sedarah dalam garis lurus dan keluarga semenda dalam garis menyimpang – untuk pemboros (ayat 2)

Suami atau istri – untuk suami atau istrinya (ayat 3)
Diri sendiri dalam hal tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri (ayat 4)
Kejaksaan – untuk mata gelap, dungu, sakit ingatan (psl 435)
Diajukan ke PN tempat tinggal orang yang dimintakan pengampuan

Akibat hukum pengampuan:
Ia sama dengan orang yang belum dewasa (psl 452 (1))
Perbuatannya– batal demi hukum (psl 446 (2))
Pengecualian:
- Bagi pemboros – boleh membuat surat wasiat (Psl 446 (3)); bisa melangsungkan perkawinan dan membuat perjanjian kawin yang dibantu oleh pengampu (Psl 452 (2))

Berakhirnya Pengampuan:
Pengampuan berakhir jika sebab-sebab pengampuan sudah hilang (psl 460); dan bila curandus meninggal dunia


Badan Hukum
Pengertian: kumpulan dari orang-orang yang bersama-sama mendirikan badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, untuk tujuan tertentu; yang seperti manusia dianggap dapat bertindak dalam hukum, mempunyai hak dan kewajiban, serta perhubungan hukum dengan orang atau badan hukum lain

Syarat-syarat berdirinya:
Adanya harta yang terpisah
Adanya tujuan tertentu
Adanya suatu kepentingan tersendiri
Adanya organisasi yang teratur

Cara mendirikan:
Dengan akta notaris
Didaftarkan ke kantor panitera PN setempat
Anggaran Dasarnya disahkan oleh Menteri PerUU dan HAM
Diumumkan dalam Berita Negara
Dengan demikian, sebuah badan hukum dianggap telah lahir dan sah sebagai subjek hukum; dan berakhir dengan pernyataan pailit

Pembagian Badan Hukum:
Badan Hukum Publik/ publiek rechtpersoon
- Yang didirikan oleh negara untuk kepentingan publik
- Contoh: negara RI dan pemerintahannya, pemerintah daerah, BI dll
Badan Hukum Privat/ privaat rechtpersoon
- Yang didirikan untuk kepentingan individu
- Contoh: PT, CV, koperasi, parpol, ormas, yauasan dll


Domisili
Tempat tinggal (pasal 17 KUHPerd)
Adalah tempat seseorang dianggap selalu hadir melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajibannya, meskipun ia bertempat tinggal di tempat lain
Tempat tinggal seseorang atau badan hukum

Pentingnya domisili:
Psl 3 PP no. 9/1975– orang yang akan melangsungkan perkawinan, memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat setempat
Tempat mengajukan gugatan perceraian: PA domisili tergugat; kecuali jika tidak diketahui domisilinya
Untuk mengetahui pengadilan mana yang berwenang mengadili perkara perdata seseorang: tempat tinggal tergugat
Tempat mengikuti pemilu; dan tempat pembayaran suatu barang

Macam-macam domisili:
Tempat tinggal yang sesungguhnya: 2=
- Tempat tinggal bebas: tidak terikat atau tergantung kepada orang lain
- Tidka bebas: terikat/tergantung kepada orang lain, misalnya: istri ikut suami; anak ikut ortu; curandus ikut curator; buruh ikut majikan
Tempat tinggal pilihan—berkaitan dengan perbuatan hukum tertentu, dipilih domisili tertentu—misal: perkara di pengadilan
Rumah kematian: tempat tinggal terakhir